BAB
II
PEMBAHASAN
Urgensi Pendidikan Multikultural Di Indonesia, dijabarkan sebagai berikut:
1.
Sebagai
sarana Alternatif Pemecahan Konflik
Penyelenggaraan pendidikan multicultural didunia
pendidkan diyakini dapat menjadi solusi nyata bagi konflik dan disharmonisasi
yang terjadi di masyarakat, khususnya yang kerap terjadi di masyarakat Indonesia yang secara realitas plural. Dengan
kata lain, pendidikan multicultural dapat menjadi sarana alternatif pemecahan
konflik sosial budaya. [1]
Spectrum kultur masyarakat Indonesia yang amat
beragam menjadi tantangan bagi dunia pendidikan guna mengolah perbedaan
tersebut menjadi suatu asset, bukan sumber perpecahan. Saat ini, pendidikan
multicultural mempunyai dua tanggung jawab besar, yaitu menyiapkan bangsa Indonesia
untuk siap menghadapi arus budaya luar di era globalisasi dan menyatukan bangsa
sendiri yang terdiri dari berbagai macam budaya.
Memang pendidikan kebangsaan dan ideology telah
banyak diberikan diperguruan tinggi, namun pendidikan multicultural belum
diberikan dengan proporsi yang benar. Maka, sekolah dan perguruan tinggi
sebagai institusi pendidikan dapat mengembangkan pendidikan multicultural
dengan model masing-masing sesuai asas otonomi pendidikan atau sekolah. Pendidikan multicultural
sebaiknya lebih ditekankan pada mata pelajaran kebangsaan dan moral.
Pada dasarnya, model-model pembelajaran sebelumnya
yang berkaitan dengan kebangsaan memang sudah ada. Namun, hal itu masih kurang
memadai sebagai sarana pendidikan guna menghargai perbedaan masing-masing suku,
budaya, etnis. Hal itu terlihat dengan munculnya konflik yang kerap terjadi
pada realitas kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini. Hal itu menunjukkan
bahwa pemahaman toleransi masih amat kurang.
Hingga detik ini, jumlah siswa dan mahasiswa yang
memahami apa yang sebenernya ada di balik budaya suatu bangsa masih sangat
sedikit. Menurut Suyanto, pakar pendidikan, masyarakat justru mengetahui lebih
dalam mengenai stereotip suatu suku bangsa dibandingkan mengenal apa yang
sebenarnya dimiliki suku tersebut. Padahal, dalam konteks diskursus pendidikan
multicultural, memahami makna di balik realitas budaya suatu suku bangsa, itu
merupakan hal yang esensial.
Maka, penyelenggaraan pendidikan multicultural dapat
dikatakan berhasil bila terbentuk pada diri siswa dan mahasiswa sikap hidup
saling toleran, tidak bermusuhan dan tidak berkonflik yang disebabkan oleh
perbedaan budaya, suku, bahasa, adat istiadat atau lainnya.
Menurut Stephen Hill, Diirektur Perwakilan Badan PBB
Bidang Pendidikan, lmu Pengetahuan dan Budaya, UNESCO untu kawasan Indonesia,
Malaysia, Filipina, dan Timor Leste. Pendidikan multicultural dapat dikatakan
berhasil bila prosesnya melibatkan semua elemen masyarakat. Secara konkret,
pendidikan ini tidak hanya melibatkan guru atau pemerintah saja, namun seluruh
elemen masyarakat. Hal itu dikarenakan adanya multidemensi aspek kehidupan yang
tercakup dalam pendidikan multicultural.
Perubahan yang diharapkan dalam konteks pendidikan
multicultural ini tidak terletak pada justifikasi angka atau statistic dan
berorientasi kognitif ansich sebagaimana lazimnya penilaian keberhasilan
pelaksanaan pendidikan di negeri ini. Namun, lebih dari itu, pada terciptanya
kondisi yang nyaman, damai, toleran dalam kehidupan masyarakat, dan tidak
selalu muncul konflik yang disebabkan oleh perbedaan budaya dan SARA.\
Bahkan, ada sebagian kalangan yang menyatakan, bahwa
hasil dari pendidikan multicultural tiak dapat ditentukan dengan standar waktu
tertentu. Maka, dalam konteks dunia pendidikan Indonesia sudah saatnya
memberikan perhatian yang besar terhadap pendidikan multicultural. Secara tidak
langsung, hal itu dapat memberikan solusi bagi sejumlah permasalahan sosial
yang dihadapi bangsa Indonesia di masa mendatang.
2.
Supaya
Siswa Tidak Tercerabut dari Akar Budaya
Selain sebagai sarana alternatif pemecahan konflik,
pendidikan multicultural juga signifikan dalam membina siswa agar tidak
tercerabut dari akar budaya yang ia miliki sebelumnya, tatkala ia berhadapan
dengan realitas sosial budaya di era globalisasi.
Dalam era globalisasi saat ini, pertemuan
antarbudaya menjadi ancaman serius bagi anak didik. Untuk mensikapi realitas
global tersebut, siswa hendaknya diberi penyadaran akan pengetahuan yang
beragam, sehingga mereka memiliki kompetensi yang luas akan pengetahuan global,
termasuk aspek kebudayaan. Mengingat beragamnya realitas kebudayaan di Negara
ini, dan di luar negeri, siswa pada era globalisasi ini sudah tentu perlu
diberi materi tentang pemahaman banyak budaya, atau pendidikan multikulturalisme,
agar siswa tidak tercerabut dari akar budayanya itu.
Dunia pendidikan kita
saat ini sangat berat dan kompleks. Maka, upaya antisipasi perlu dipikirkan
secara serius. Jika tidak ditanggapi dengan serius dan disertai solusi konkret,
utamanya pada pendidikan kita yang bertanggung jawab penuh atas kualitas sumber
daya manusia (SDM) dinegeri ini, maka anak-anak generasi bangsa ini bisa
kehilangan arah, tercerabut dari akar budayanya sendiri. Coba kita bayangkan,
jika perrsinggungan budaya hanya terjadi antar budaya yang berbeda, itu mungkin
masih mudah di atasi. Tetapi, dalam era globalisasi seperti saat ini, pertemuan
antar buadaya sudah luar biasa dan kompleks. Maka, jelas dimungkinkan
terjadinya gesekan dan tarik ulur yang saling mempengaruhi antar budaya. Dan sangat
dimungkinkan kekhawatiran Samuel P. Huntington dalam tesisnya The Clash of Civilization akan terwujud.
Menurut H.A.R. Tilaar, pendidikan multicultural
telah menjadi suatu tuntutan yang tidak dapat ditawar-tawar dalam membangun
Indonesia baru. Dalam pandangan guru besar emeritus Program Pascasarjana UNJ
ini, pendidikan multicultural memerlukan kajian yang mendalam mengenai konsep
dan praksis pelaksanaanya.[2]
Konsep pendidikan
multicultural belum dikaji secara serius pada dunia pendidikan kita. Tetapi,
bila ditilik secara yuridis, sebetulnya Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional tahun 2003 telah memberikan peluang untuk menjabarkan lebih lanjut
terhadap konsep pendidikan multicultural, utamanya dalam pasal 4 ayat 1 yang
mengatur tentang prinsip penyelenggaraan pendidikan yang mempertimbangkan
nilai-nilai cultural masyarakat yang sangat beragam. Hal senada juga diakui
oleh Tilaar, bahwa pendidikan kita memang belum mempunyai pengalaman yang
memadai dalam pendidikan multicultural. Oleh sebab itu, perlu dikaji dari
berbagai segi apakah sebenarnya pendidikan multicultural itu, baik filsafat,
metodologi, isi, maupun tantangan-tantangan dalam pelaksanaannya. Ada baiknya
juga apabila kita menimba dari pengalaman Negara-negara yang telah
mengaplikasikan pendidikan multicultural dalam masyarakat yang pluralistik
serta dunia terbuka di era globalisasi dewasa ini.
Sebetulnya, realitas multicultural yang ada di
Indonesia merupakan kekayaan yang bisa menjadi modal untuk mengembangkan suatu
kekuatan budaya. Selain itu, ia juga sebagai kekayaan yang luar biasa, yang
tidak dimiliki orang lain. Maka, jelas bahwa kekayaan tersebut patut kita jaga
dan lestarikan.
3.
Sebagai
landasan Pengembangan Kurikulum Nasional
Dalam melakukan pengembangan kurikulum sebagai titik
tolak dalam proses belajar mengajar, atau guna memberikan sejumlah materi dan
isi pelajaran yang harus dikuasai oleh siswa dengan ukuran atau tingkatan
tertentu. Pendidikan multicultural sebagai landasan pengembangan kurikulum
menjadi sangat penting.
Pengembangan kurikulum masa depan yang berdasarkan
pendekatan multicultural dapat dilakukan berdasarkan langkah-langkah sebagai
berikut :[3]
1. Mengubah
filosofi kurikulum dari yang berlaku seragam seperti saat ini kepada filosofi
yang lebih sesuai dengan tujuan, misi, dan fungsi setiap jenjang pendidikan dan
unit pendidikan. Untuk tingkat pendidikan dasar, filosofi konservatif seperti
esensialisme dan perenialisme haruslah dapat di ubah ke filosofi yang lebih
menekankan pendidikan sebagai upaya mengembangkan kemampuan kemanusiaan peserta
didik, baik sebagai individu maupun sebgai anggota masyarakat, bangsa, dan
dunia. Filosofi kurikulum yang progresif seperti humanism, progresivisme dan
rekonstruksi sosial dapat dijadikan landasan pengembangan kurikulum.
2. Teori
kurikulum tentang konten (curriculum
conten), haruslah berubah dari teori yang mengartikan konten sebagai aspek
substansf yang berisikan fakta, teori, generalisasi ke pengertian yang mencakup
pula nilai moral, prosedur, proses dan keterampilan yang harus dimiliki
generasi muda.
3. Teori
belajar yang digunakan dalam kurikulum masa depan yang memerhatikan keragaman
sosial, budaya, ekonomi, dan politik tidak boleh lagi hanya mendasarkan diri
pada teori psikologi belajar yang menempatkan siswa sebagai makhluk sosial,
budaya, politik, yang hidup sebagai anggota aktif masyarakat, bangsa, dan dunia
yang harus diseragamkan oleh institusi pendidikan.
4. Proses
belajar yang dikembangkan untuk siswa harus pula berdasarkan proses yang
memiliki tingkat isomorphism yang tinggi dengan kenyataan sosial. Artinya,
proses belajar yang mengandalikan siswa belajar secara individualistis harus
ditinggalkan dan diganti dengan cara belajar berkelompok dan bersaing secara
kelompok dalam situasi positif positif. Dengan cara demikian, perbedaan antar
individu dapat dikembangkan sebagai suatu kekuatan kelompok, dan siswa terbiasa
hidup dengan berbagai budaya, sosial, intelektualitas, ekonomi, dan aspirasi
politik.
5. Evaluasi
yang digunakan haruslah meliputi keseluruhan aspek kemampuan dan kepribadian
peserta didik, sesuai dengan tujuan dan konten yang dikembangkan. Alat evaluasi
yang digunakan haruslah beragam sesuai dengan sifat, tujuan dan informasi yang
ingin dikumpulkan. Penggunaan alternative
assessment (portofolio, catatan observasi, wawancara) dapat pula digunakan.
Indonesia sebagai Negara majemuk, baik dalam segi
agama, suku bangsa, golongan, maupun budaya local, perlu menyusun konsep
pendidikan multicultural sehingga menjadi pegangan untuk memperkuat identitas
nasional. Pelajaran kewarganegaraan yang telah diajarkan di SD hingga PT,
sebaiknya disempurnakan dengan memasukkan pendidikan multicultural, seperti
budaya local antar daerah ke dalamnya, agar generasi muda bangga sebagai bangsa
Indonesia.
Pemerintah, bersama para pakar dari PT, perlu
menyusun konsep pendidikan multicultural untuk dimasukkan ke dalam kurikulum
pendidikan. Sehingga, generasi muda memiliki ketahanan dan identitas nasional
dan pada gilirannya ancaman disintegrasi bangsa dapat dicegah. Maka, pendidikan
multicultural perlu dimasukan ke dalam kurikulum pendidikan, mulai SD hingga
Perguruan Tinggi (PT), agar generasi muda Indonesia memiliki identitas
nasional. Atau dapat juga dirumuskan materi tersendiri yang di dalamnya
mencakup esensi pendidikan multicultural.
Dengan cara ini diharapkan bahwa generasi muda di
Negara ini setidaknya-tidaknya memiliki identitas nasional, sehingga mereka
tidak mudah dipecah belah, dan mampu bersaing di era perdagangan bebas dan era
globalisasi seperti saat ini. Negara yang berpenduduk majemuk seperti Amerika,
Australia dan Kanada pun telah mengajarkan pendidikan multicultural pada
sekolah formal dan informal.
Menurut Hamid Hasan,[4]bahwa
masyarakat dan bangsa Indonesia memiliki keragaman sosial budaya, aspirasi
politik dan kemampuan ekonomi. Keragaman tersebut berpengaruh langsung terhadap
kemampuan guru dalam melaksanakan kurikulum, kemampuan sekolah dalam
menyediakan pengelaman belajar, dan kemampuan siswa dalam berproses, belajar
dan mengolah informasi menjadi sesuatu yang dapat diterjemahkan sebagai hasil
belajar. Keragaman itu menjadi suatu variable bebas yang memiliki kontribusi
sangat signifikan terhadap keberhasilan kurikulum, baik sebagai proses maupun
sebagai hasil.
Oleh karena itu, keragaman tersebut harus menjadi
faktor yang diperhitungkan dalam menentukan filsafat, teori, visi, pengembangan
dokumen, sosialisasi,dan pelaksanaan kurikulum. Pengembangkan kurikulum dengan
menggunakan pendekatan pengembangan multicultural harus didasarkan pada empat
prinsip. Pertama, keragaman budaya
menjadi dasar dalam menentukan filsafat. Kedua,
keragaman budaya dijadikan dasar dalam mengembangkan berbagai komponen
kurikulum, seperti tujuan, konten, proses, dan evaluai. Ketiga, budaya dilingkungan unit pendidikan adalah sumber belajar
dan objek studi yang harus dijadikan bagian dari kegiatan belajar siswa. Keempat, kurikulum berperan sebagai
media dalam mengembangkan kebudayaan daerah dan nasional.
Pengembangan kurikulum untuk Negara yang besar,
penuh ragam, dan miskin seperti Indonesia, bukanlah pekerjaan mudah. Keragaman
sosisal budaya, aspirasi politik, dan kemampuan ekonomi memberikan tekanan yang
sama, kalau tidak dapat dikatakan lebih kuat, dengan perbedaan filosofi, visi, teori
yang di anut para pengambil keputusan mengenai kurikulum. Perbedaan filosofi,
visi, dan teori para pengambil keputusan seringkali dapat diselesaikan melalui
jenjang otoritas yang dimiliki seseorang walaupun dilakukan dalam suatu proses
deliberasi yang paling demokratis.[5]
Ketika perbedaan filosofi, visi, dan teori itu
terselesaikan, maka proses pengembangan dokumen kurikulum dapat dilakukan
dengan mudah. Tim yang direkrut adalah tim yang diketahui memiliki filosofi,
visi dan teori yang sejalan, atau bahkan mereka yang tidak memiliki ketiga
kualitas itu tetapi ahli dalam masalah konten yang akan dikembangkan sebagai
konten kurikulum.
Keragaman sosial, budaya, aspirasi politik, dan kemampuan
ekkonomi adalah suatu realita masyarakat dan bangsa Indonesia. Realitas
tersebut memang berposisi sebagai objek peripheral dalam proses pengembangan
kurikulum nasional. Posisi sebagai objek menguntungkan karena ia seringkali di
abaikan oleh para otoritas pengembang kurikulum. Sayangnya, kedudukannya yang
menjadi objek berubah menjadi subjek dan penentu dalam implementasi kurikulum,
tetapi tetap dijadikan landasan ketika guru mengembangkan kurikulum.
Padahal, keragaman itu seperti telah disebutkan berpengaruh
langsung terhadap kemampuan guru dalam melaksanakan kurikulum, kemampuan
sekolah dalam menyediakan pengalaman belajar, dan kemampuan siswa dalam
berproses dalam belajar dan dalam mengolah informasi menjadi sesuatu yang dapat
diterjemahkan sebagai hasil belajar.
Posisi keragaman sebagai variable bebas memang
berada pada tataran sekolah dan masyarakat dimana suatu kurikulum dikembangkan
dan diharapkan menjadi pengubah yang tangguh sesuai dengan kebutuhan masyarakat
yang dapat diperkirakan (perceived needs
of a society). Secara nyata, pengaruh tersebut berada pada diri guru yang bertanggungjawab
terhadap pengembangan kurikulum, bukan pada siswa yang menjalani kurikulum.
Hal penting lainnya adalah bahwa pendidikan
multicultural dapat dijadikan sebagai landasan pengembangan kurikulum. Sudah
sejak lama para ahli pendidikan dan dan kurikulum menyadari bahwa kebudayaan
adalah salah satu landasan pengembangan kurikulum (Taba, 1962). Disamping
landasan lain seperti perkembangan masyarakat, ilmu pengetahuan, teknologi,
politik, ekonomi. Ki Hadjar Dewantara (1936, 1945, 1946) menyatakan bahwa
kebudayaan merupakan faktor penting sebagai akar pendidikan suatu bangsa.[6]
Ahli kurikulum lain seperti Print (1993 : 15)
menyatakan pentingnya kebudayaan sebagai landasan bagi kurikulum dengan
mengatakan : curriculum is a construct of
that
culture.[7]
Kebudayaan merupakan totalitas cara manusia hidup dan mengembangkan pola
kehidupannya sehingga ia tidak saja menjadi landasan dimana kurikulum
dikembangkan tetapi juga menjadi target hasil pengembangan kurikulum.Secara
intrinsic, para pengembang kurikulum dalam merumuskan filosofi, visi dan tujuan
pendidikan, sangat dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, pandangan hidup,
dan keyakinan hidupnya.
Landasan lain yang diperlukan dalam pengembangan
kurikulum adalah teori belajar, yaitu teori tentang bagaimana siswa belajar.
Selama ini, orang berbicara tentang teori belajar yang dikembangkan terutama dari
psikologi. Teori belajar seperti yang dikenal dalam literature dikembangkan
dari aliran dan teori dalam
psikologi, seperti behaviorisme, dan kognitif.
Atas dasar posisi pendidikan multicultural sebagai
pendekatan dalam pengembangan kurikulum, pendekatan multicultural untuk
kurikulum nasional diartikan sebagai suatu prinsip yang menggunakan keragaman
kebudayaan peserta didik dalam mengembangkan filosofi, misi, tujuan, komponen
kurikulum, dan lingkungan belajar, sehingga siswa dapat menggunakan kebudayaan
pribadinya untuk memahami dan mengembangkan berbagai wawasan, konsep,
keterampilan, nilai, sikap, dan moral yang diharapkan.
4. Menuju
Masyarakat Indonesia yang Multikultural
Cita-cita reformasi untuk membangun Indonesia Baru harus dilakukan dengan
cara membangun kembali dari hasil perombakan tatanan kehidupan yang dibangun
oleh rezim Orde Baru. Inti dari cita-cita tersebut adalah sebuah masyarakat
sipil yang demokratis, dan ditegakkannya hokum untuk supremasi keadilan,
pemerintahan yang bersih dari KKN, terwujudnya keteraturan social dan rasa aman
dalam masyarakat yang menjamin kelancaran produktivitas warga masyarakat, dan
kehidupan ekonomi yang mensejahtarakan rakyat Indonesia. Bangunan Indonesia
Baru dari hasil reformasi (perombakan tatanan kehidupan menuju tatanan yang
lebih baik) di atas adalah terciptanya sebuah “masyarakat multikultural
Indonesia”.
Dalam masyarakat multikultural ditegaskan, bahwa corak masyarakat
Indonesia yang bhinneka tunggal ika ini bukan hanya dimaksudkan pada
keanekaragaman suku bangsa, melainkan juga keanekaragaman kebudayaan yang ada
dalam masyarakat Indonesia secara keseluruhan. Eksistensi keberagaman
kebudayaan tersebut selalu dijaga/ terjaga yang bisa tampak dalam sikap saling
menghargai, menghormati, toleransi antara satu kebudayaan dengan kebudayaan
lainnya. Dalam konteks ini ditegaskan, bahwa perbedaan bukan menjadi penghalang
untuk bersatu padu meraih tujuan dan mewujudkan cita-cita dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara sebagaimana termaktub dalam UUD 1945 dan Pancasila.
Acuan utama bagi terwujudnya masyarakat Indonesia yang multikultural
adalah multikulturalisme, yaitu sebuah ideologi yang mengakui dan mengagungkan
perbedaan dalam kesederajatan baik secara individual maupun secara kebudayaan.
Dalam model multikulturalisme ini, sebuah masyarakat (termasuk juga masyarakat
bangsa seperti Indonesia) dilihat sebagai sebuah kebudayaan yang berlaku umum
dalam masyarakat tersebut yang coraknya seperti sebuah mozaik, di mana dalam
mozaik tersebut tercakup semua kebudayaan dari masyarakat-masyarakat kecil yang
membentuk terwujudnya masyarakat yang lebih besar, yang mempunyai kebudayaan
yang seperti sebuah mozaik tersebut (Reed, ed. 1997). Model multikulturalisme
ini sebenarnya telah digunakan sebagai acuan oleh para pendiri bangsa (founding
fathers) Indonesia dalam mendesain apa yang dinamakan sebagai kebudayaan
bangsa, sebagaimana yang terungkap dalam penjelasan Pasal 32 UUD 1945, yang
berbunyi: “kebudayaan bangsa (Indonesia) adalah puncak kebudayaan di daerah”.
Upaya membangun Indonesia yang multikultural hanya mungkin dapat terwujud
bila:
1)
Konsep
multikulturalisme menyebar luas dan dipahami urgensinya bagi bangsa Indonesia
yang multicultural ini, juga adanya keinginan bangsa Indonesia pada tingkat
nasional maupun lokal untuk mangadopsi dan menjadikannya sebagai pedoman hidup.
2)
Adanya
kesamaan pemahaman di antara para ahli mengenai makna multikulturalisme bagi
kehidupan berbangsa dan bernegara.
3)
Upaya-upaya
lain yang dapat dilakukan guna mewujudkan cita-cita ini.
Konsep multikulturalisme tidaklah dapat disamakan dengan konsep
keanekaragaman secara sukubangsa atau kebudayaan saja yang menjadi ciri
masyarakat majemuk, karena multikulturalisme menekankan keanekaragaman
kebudayaan dalam kesederajatan atau kesetaraan budaya.
Kajian mengenai multikulturalisme meliputi berbagai permasalahan, antara
satu masalah dengan masalah yang lain tak bias dipisahkan. Hal itu di antaranya
adalah tentang politik dan demokrasi, keadilan dan penegakan hukum, kesempatan
kerja dan berusaha, HAM, hak budaya komuniti dan golongan minoritas,
prinsip-prinsip etika dan moral.
Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana tetapi sebuah ideologi yang harus diperjuangkan. Karena, multikulturalisme sangat dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup suatu masyarakat yang majemuk (plural society). Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri yang terpisah dari ideolog-ideologi lainnya, tetapi multikulturalisme juga membutuhkan seperangkat konsep yang merupakan bangunan konsep-konsep untuk dijadikan acuan untuk memahami dan mengembang luaskannya dalam kehidupan bermasyarakat.
Multikulturalisme bukan hanya sebuah wacana tetapi sebuah ideologi yang harus diperjuangkan. Karena, multikulturalisme sangat dibutuhkan sebagai landasan bagi tegaknya demokrasi, HAM, dan kesejahteraan hidup suatu masyarakat yang majemuk (plural society). Multikulturalisme bukan sebuah ideologi yang berdiri sendiri yang terpisah dari ideolog-ideologi lainnya, tetapi multikulturalisme juga membutuhkan seperangkat konsep yang merupakan bangunan konsep-konsep untuk dijadikan acuan untuk memahami dan mengembang luaskannya dalam kehidupan bermasyarakat.
Untuk dapat memahami multikulturalisme secara komprehensif, diperlukan
landasan pengetahuan yang berupa bangunan konsep-konsep yang relevan dan
mendukung keberadaan serta berfungsinya multikulturalisme dalam kehidupan
manusia. Bangunan konsep-konsep ini harus dikomunikasikan di antara para ahli
yang mempunyai perhatian ilmiah yang sama tentang multikulturalisme sehingga
terdapat kesamaan pemahaman dan saling mendukung dalam memperjuangkan ideologi
ini. Berbagai konsep yang relevan dengan multikulturalismeantara lain adalah
demokrasi, keadilan dan hukum, nilai-nilai budaya dan etos, kebersamaan dalam
perbedaan yang sederajat, suku bangsa, kesukubangsaan, kebudayaan suku bangsa,
keyakinan keagamaan, ungkapan-ungkapan budaya, domain privat dan publik, HAM,
hak budaya komuniti, dan konsep-konsep lainnya yang relevan. (Fay 1996, Rex
1985, Suparlan, 2002).
Masyarakat multikultural Indonesia adalah sebuah masyarakat yang
berdasarkan pada ideologi multikulturalisme atau bhinneka tunggal ika, yang
melandasi corak struktur masyarakat Indonesia baik pada tingkat nasional maupun
lokal. Bila pengguliran proses reformasi yang terpusat pada terbentuknya
masyarakat multikultural Indonesia itu berhasil, maka tahap berikutnya adalah
mengisi struktur-struktur atau pranata-pranata dan organisasi-orgasisasi social
yang tercakup dalam masyarakat Indonesia. Isi dari struktur-struktur atau
pranata-pranata social tersebut mancakup reformasi dan pembenahan dalam
kebudayaan-kebudayaan yang ada, dalam nilai-nilai budaya dan etos, etika, serta
pembenahan dalam hukum dan penegakan hukum untuk keadilan. Dalam upaya ini,
haruslah dipikirkan adanya ruang-ruang fisik dan budaya bagi keanekaragaman
kebudayaan setempat, atau pada tingkat lokal maupun nasional, serta berbagai
corak dinamikanya.
Upaya ini dapat dimulai dengan pembuatan pedoman etika dan pembakuannya
sebagai acuan bertindak sesuai dengan adab dan moral dalam berbagai interaksi
yang terserap dalam hak dan kewajiban dari pelakunya dalam berbagai struktur
kegiatan dan manajemen. Pedoman etika ini akan membantu upaya pemberantasan KKN
secara hukum.
Upaya lainnya adalah dengan menggunakan strategi kebudayaan, di antaranya sebagai berikut:
Upaya lainnya adalah dengan menggunakan strategi kebudayaan, di antaranya sebagai berikut:
1)
Proses
enkulturasi harus dilakukan dengan cara-cara yang lebih strategis, khususnya
menyangkut penggunaan media yang berperan dengan baik dalam menanamkan
nilai-nilai budaya. Fungsi keluarga dan sekolah perlu mendapatkan perhatian
dengan cara optimalisasi peran.
2)
Pembelajaran
kebudayaan perlu dilakukan melalui berbagai institusi, dengan meningkatkan
peran lembaga pendidikan. Sosialisasi dan aktualisasi pemahaman kebudayaan yang
tepat dan mendalam perlu dilakukan melalui berbagai cara dengan memberikan
pengalaman kebudayaan secara langsung.
3)
Penciptaan
minat terhadap kebudayaan merupakan proses yang penting untuk mendidik
masyarakat tentang perlunya kebudayaan baik dalam kehidupan individu maupun
social. Minat ini diharapkan akan mendorong perhatian dan kebutuhan masyarakat
terhadap berbagai sumber kebudayaan yang kaya, baik filsafat, pengetahuan,
nilai-nilai, maupun warisan budaya.
4)
Pemberdayaan
kebudayaan suku bangsa di berbagai tempat merupakan kebutuhan yang mendesak
untuk dilakukan, khususnya dengan mendukung berbagai kegiatan budaya dan
penguatan kelembagaan, dengan memperhatikan aspek gender dan generasi. Proses
ini ditujukan untuk optimalisasi peran kebudayaan dalam penataan social dalam
komunitas.
5)
Pemahaman
kebudayaan secara lintas budaya, baik dalam bentuk pengalaman interaksi maupun
komunikasi, yang memungkinkan pengenalan budaya yang berbeda dan difusi
unsur-unsur kebudayaan dalam berbagai dimensinya ke dalam kehidupan berbagai
kelompok masyarakat. Dengan cara ini basis-basis integrasi dan kohesi social
diharapkan dapat terbentuk.
6)
Konflik
yang terjadi di berbagai tempat dalam berbagai bentuknya dapat dipicu oleh
berbagai proses sejalan dengan globalisasi. Peran lembaga mediasi pada tingkat
lokal yang memiliki strategi yang konstektual perlu diberdayakan agar berfungsi
dengan baik.
7)
Nilai-nilai
dan norma-norma yang berfungsi sebagai aturan dalam melindungi kekayaan budaya
harus difungsikan dan dikuatkan kembali dalam melestarikan kebudayaan dalam
berbagai bentuknya.
8)
Penguatan
kelembagaan dalam berbagai bentuknya, baik dalam lingkungan keluarga, lembaga
pendidikan, lembaga adat, maupun lembaga formal lainnya perlu dilakukan.
Berbagai lembaga tersebut tidah hanya berfungsi dalam enkulturasi dan
internalisasi berbagai aspek kebudayaan saja, tetapi juga dalam pengembangan
kebudayaan bagi terwujudnya kehidupan yang lebih baik.
9)
Proses
pengembangan kebudayaan selain berorientasi pada pengembangan rasionalitas, seyogyanya
juga menekankan pada pendidikan “moral”, karena hal itu akan melahirkan
kepribadian bangsa dan budi pekerti dalam setiap jiwa individu, yang dengan
cara ini etika social dalam kehidupan bermasyarakat dapat berkembang dalam
menciptakan masyarakat yang damai.
10)
Peranan
Negara sangat dibutuhkan untuk menumbuhkan pola kebudayaan yang sesuai untuk
menuju masyarakat yang dicita-citakan.
Upaya-upaya tersebut tidak akan mungkin dapat dilaksanakan bila
pemerintah, nasional maupun daerah dalam berbagai level, tidak menginginkan
atau menyetujuinya. Ketidakinginan mengubah tatanan yang ada biasanya berkaitan
dengan berbagai fasilitas dan keistimewaan yang diperoleh dan dipunyai oleh
para pejabat dalam hal akses dan penguasaan atas sumber daya yang ada dan
pendistribusiannya. Mungkin peraturan yang ada yang berkenan dengan masalah itu
harus direvisi, termasuk revisi untuk meningkatka gaji dan pendapatan para
pejabat, sehingga peluang untuk melakukan KKN dapat dibatasi atau
diminimalisir.
Bersamaan dengan upaya-upaya diatas, sebaiknya Deptiknas R.I. mengadopsi
pendidikan multikulturalisme untuk diberlakukan disekolah, dari tingkat SD
sampai tingkat SLTA dan Perguruan Tinggi. Pendidikan multicultural sebaiknya
dimasukan kedalam kurikulum sekolah, dan pelahsanaanya dapat dilakukan sebagai
pelajaran ekstrakulikuler atau menjadi bagian dari kurikulum sekolah, atau
menjadi materi pelajaran tersendiri (khususnya untuk daerah-daerah bekas
konflik berdarah antar suku bangsa, etnis dan SARA seperti di Poso, Sampit,
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan berbagai tempat lainnya).
BAB III
KESIMPULAN
Urgensi pendidikan
multicultural di Indonesia. Diantaranya yang penting untuk diketahui adalah pertama, pendidikan multicultural
berfungsi sebagai sarana alternative pemecahan konflik; kedua, dengan pelajaran pendidikan berbasis multicultural, siswa
diharapkan tidak tercerabut dari akar budayanya; ketiga, pendidikan multicultural relevan di alam demokrasi seperti
saat ini.
Untuk
mewujudkan multikulturalisme dalam dunia pendidikan, maka pendidikan
multicultural juga perlu dimasukkan ke dalam kurikulum nasional, yang pada
akhirnya dapat menciptakan tatanan masyarakat Indonesia yang multicultural,
serta upaya-upaya lain yang dapat dilakukan guna mewujudkannya.
[1] Media Indonesia, Rabu, 08 September 2004
[2] Berita Harian Republika, Jum’at 17 September 2004, Ibid.
[3] S. Hamid Ibid, 522-523.
[4] S. Hamid Hasan, Multikultural
Untuk Penyempurnaan Kurikulum Nasional, Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan,
026, 6, (Oktober, 2000), 510-523
[5] Ibid, 510-523
[6][6] S. Hamid, ibid, 512-513. Juga dilihat dalam Ki Hajar Dewantara,
Dasar-dasar pendidikan, dalam karya Ki Hajar Dewantara bagian pertama :
pendidikan ( Yogyakarta : Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1936, 1945,
1946).
[7] M. Print, Curricullum
Development and Design (St. Leonard : Allen & Unwin Pty, Ltd, 1993).